Limbah Sampah Plastik untuk Campuran Perkerasan Jalan Aspal
Hampir setiap hari kita selalu menggunakan kantong plastik untuk membantu kehidupan kita saat untuk berbelanja dipasar ataupun di supermarket. Sifat kantong plastik yang ringan dan tahan korosi menjadi pilihan yang cocok bagi para konsumen untuk membungkus atau menjadi wadah barang belanjaan.
Tidak hanya kantong plastik, penggunaan plastik juga untuk botol air minum kemasan yang biasa dijual dipasar dalam berbagai bentuk dari kecil hingga besar. Namun penggunaan plastik yang berlebihan akan mengganggu iklim dan menyebabkan pemanasan global.
Diperkirakan pada tahun 2019 sampah plastik akan mencapai 9,52 juta ton, penggunaan plastik sangat meningkat dan banyak orang yang membuang tidak pada tempatnya. Pembuangan sampah yang sembarangan akan menyebabkan banjir, pencemaran air bahkan populasi ikan akan mati jika sampah sampai terbawa ke laut.
Untuk mengurangi populasi sampah plastik terutama di Indonesia, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) akan menggunakan sampah plastik dan karet ke dalam campuran aspal yang digunakan pekerasan jalan aspal.
Aspal yang menggunakan campuran sampah plastik dan karet lebih lengket dan cepat menyatu ke permukaan tanah dan daya stabilitasnya meningkat sekitar 30 % ketimbang tidak menggunakan campuran plastik sama sekali.
Aspal yang dicampurkan sampah plastik memiliki beberapa kelebihan, yaitu memiliki tingkat pengerasan yang lebih baik, daya tahan yang baik dalam berbagai cuaca dan tahan deformasi ketika dilewati oleh kendaraan berat.
Untuk menghasilkan jalan 1 kilometer dibutuhkan sampah plastik sekitar 2-5 ton. Sampah plastik akan diperoleh dari 16 kota besar di Indonesia yang telah dikumpulkan untuk di sortir dan dicampurkan ke dalam aspal.
Dengan adanya inovasi baru ini diharapkan sampah plastik akan semakin berkurang dan kita sebagai konsumen juga perlu membatasi penggunaan plastik agar tidak menimbulkan dampak yang jauh lebih besar di kemudian hari.
Tidak hanya kantong plastik, penggunaan plastik juga untuk botol air minum kemasan yang biasa dijual dipasar dalam berbagai bentuk dari kecil hingga besar. Namun penggunaan plastik yang berlebihan akan mengganggu iklim dan menyebabkan pemanasan global.
Diperkirakan pada tahun 2019 sampah plastik akan mencapai 9,52 juta ton, penggunaan plastik sangat meningkat dan banyak orang yang membuang tidak pada tempatnya. Pembuangan sampah yang sembarangan akan menyebabkan banjir, pencemaran air bahkan populasi ikan akan mati jika sampah sampai terbawa ke laut.
Untuk mengurangi populasi sampah plastik terutama di Indonesia, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) akan menggunakan sampah plastik dan karet ke dalam campuran aspal yang digunakan pekerasan jalan aspal.
Sampah yang digunakan biasanya sampah-sampah kantong plastik yang susah untuk di daur ulang lagi. Sedangkan sampah botol bisa dijual lagi dan langsung bisa di daur ulang untuk dijadikan produk baru lagi.
Untuk mencampurkan ke dalam aspal, sampah plastik dan karet harus di cacah atau di potong-potong kecil agar mudah melebur ke dalam cairan aspal dan material lainnya. Kemudian aspal bisa dituang ke jalan dan diratakan dengan menggunakan pneumatic three roller atau tandem roller.Aspal yang menggunakan campuran sampah plastik dan karet lebih lengket dan cepat menyatu ke permukaan tanah dan daya stabilitasnya meningkat sekitar 30 % ketimbang tidak menggunakan campuran plastik sama sekali.
Aspal yang dicampurkan sampah plastik memiliki beberapa kelebihan, yaitu memiliki tingkat pengerasan yang lebih baik, daya tahan yang baik dalam berbagai cuaca dan tahan deformasi ketika dilewati oleh kendaraan berat.
Untuk menghasilkan jalan 1 kilometer dibutuhkan sampah plastik sekitar 2-5 ton. Sampah plastik akan diperoleh dari 16 kota besar di Indonesia yang telah dikumpulkan untuk di sortir dan dicampurkan ke dalam aspal.
Dengan adanya inovasi baru ini diharapkan sampah plastik akan semakin berkurang dan kita sebagai konsumen juga perlu membatasi penggunaan plastik agar tidak menimbulkan dampak yang jauh lebih besar di kemudian hari.
Comments
Post a Comment